Gerakan Bangkit Kebumen (GBK) : Penguatan Kapasitas Desa dan Pemberdayaan BUMDes

Inspirasi Wisata Apung "KAMPOENG RAWA"  Bejalen Ambarawa

Hari ini, Senin (2/7) sidang perdana Bupati Kebumen non aktif, Ir. H. Mohammad Yahya Fuad, SE dalam kasus korupsi di Pengadilan Tipikor, Semarang. Sebagai bentuk empati dan simpati saya menyepi di sekitaran Semarang, tepatnya di Wisata Kampung Rawa Ambarawa.

Pernahkah Anda melewati jalan lingkar Ambarawa? Jalan ini menghubungkan jalur Bawen ke Magelang, juga Salatiga lewat Muncul. Anda akan meluncur di jalan beraspal mulus membelah bentangan persawahan luas, serta menikmati pemandangan danau Rawa Pening yang tenang.

Dari arah Bawen, sekitar dua kilometer  sebelum perempatan Muncul-Ambarawa akan terlihat menonjol sejumlah bangunan berciri joglo (rumah tradisional Jawa) di sebelah kiri jalan. Letaknya mencolok ditengah lanskap persawahan. Letaknya tidak sampai 300-an meter dari jalan besar. Di belokan masuk berdiri plang besar sebagai gerbang, dengan tulisan huruf besar yang dapat dibaca dari jarak 100-an meter: Wisata Apung Kampoeng Rawa.

Sebagai pengagum pemandangan alam, saya selalu terkesima dengan latar gunung. Panorama telaga, sawah, hutan dan pegunungan sungguh paduan kompleks yang menampilkan kesatuan integratif alam raya yang tak tertandingi. Hanya decak kagum yang bisa menggambarkan kreasi alam ini.

Dari titik kampoeng rawa, mata tidak saja dimanjakan pemandangan hijau dan keluasan hamparan sawah, juga bentangan danau Rawa Pening, melainkan di kejauhan latar selatan terlihat diapit benteng bebukitan tinggi. Itu tidak lain panorama lima gunung yaitu Merbabu, Merapi, Gajah Mungkur, Telomoyo dan gunung Ungaran. Puncak-puncak gunung itu seolah-olah sambung menyambung membentuk satu garis dengan lekak-lekuk mengusung langit.

Masuk ke areal resto apung Anda harus membayar di pos.  Tiket masuk untuk mobil Rp.10.000. Saya tidak sempat menanyakan tiket masuk kendaraan roda dua tetapi saya perkirakan tidak lebih dari Rp.5000.

Jalan masuknya cukup lebar untuk  arus bolak-balik kendaraan roda empat. Hanya satu jalur untuk masuk dan keluar. Setelah masuk, gedung pertama yang ditemui didedikasikan sebagai Pusat Promosi Produk Unggulan UKM. Karena tujuan saya, istri dan anak hanya makan dan menikmati panorama alam, kami tidak sempat mampir melihat produk apa-apa saja yang disediakan. Kami diarahkan ke tempat parkir yang terbagi di beberapa lajur. Baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat. Parkiran cukup padat ketika kami memasukinya.

Dari tempat parkir Anda bisa memilih terlebih dahulu melihat-lihat hasil kerajinan dan produk UKM, ke tempat pemancingan apung, atau langsung ke restro untuk makan. Penunjuk arah cukup jelas. Bila ingin mancing Anda ke arah timur. Kalau melihat produk, dari tempat parkir langsung kelihatan warung UKM yang dibangun berderet-deret hingga hampir menyambung dengan gedung promosi produk ketika masuk tadi.

Kami langsung ke restro.  Tersedia getek yang menyeberangkan kami ke sana. Ini salah satu fasilitas  transportasi air berciri tradisi yang menambah  keunikan restro.  Meski ada juga pilihan lain, rasanya menyeberang dengan getek lebih sensasional. Kayak di film-film tradisional Cina tempo doeloe.

Getek ini menyeberangkan pengunjung ke area makan dan gazebo-gazebo. Sekitar tiga getek siaga bolak-balik mengantar dan menjemput pengunjung. Seorang pengunjung pun di antar jemput. Alternatif lainnya, pengunjung dapat menyeberang dengan jembatan apung yang menghubungkan ruas kedatangan dengan tempat makan.

Untuk makan, Anda bebas memilih apakah mengambil tempat di ruang utama restro, yang berkapasitas sekitar 100, atau memilih di gazebo yang berkapasitas 5-7 orang. Tersedia sekitar 20-an gazebo. Tentu saja kami lebih memilih makan di gazebo agar lebih leluasa. Di ruang utma restro terlalu padat dan ramai.

Fasilitas lain yang terlihat tersedia adalah wahana bermain anak, pemancingan apung, area parkiran yang luas, warung-warung UKM yang menjual produk hasil kerajinan dan hasil usaha mereka, juga sebuah mushola terletak di sebelah utara arah jalan masuk lokasi. Tersedia pula sepeda air, dayung perahu, rental boat (untuk berkeliling danau Rawa Pening), serta fasilitas main anak seperti kereta putar, kuda-kudaan dan sebagainya.

Menurut Manajer HRD, Simon Sumual, ada juga disediakan rental mobil bagi yang ingin berkeliling Ambarawa dan obyek wisata sekitarnya,  seperti museum kereta api Ambarawa, Benteng Willem I, museum Palagan, Wisata Bukit Cinta, Gua Maria Bandungan, dan sebagainya. Bagi yang hanya ingin berkeliling sekadar untuk mengagumi panorama alam sambil menghirup udara bersih bisa juga menggunakan fasilitas becak. Bagi muda mudi tentu sebuah kesempatan menikmati suasana romantis yang tak boleh dilewatkan.

Patung-patung tokoh perwayangan disebar di sejumlah titik strategis, baik di air maupun di lokasi apung memperkuat kesan tradisional Jawa-nya. Juga hewan, seperti sapi, kerbau, ikan, burung, dan lainnya makin mempertegas nuansa pedesaan.

Mengusung konsep ekowisata, pengembang “kampoeng kuliner” ini cerdik memadukan keelokan alam ciptaan Tuhan dengan kreativitas manusia. Kolaborasi ini tidak saja terkait alamnya melainkan juga “skenario bisnis” dan  ramuan penyajian produknya.

Konon, masih menurut pak Simon, “kampoeng” ini berdiri 2012, dengan nilai investasi sekitar 13 Milyar. Sebagian besar modal berasal dari CU KSP Artha Prima. Karena lahan tersebut merupakan “tanah bengkok” milik desa, maka disepakati sharing profit 70:30%.

Tiga desa yang mendapatkan rezeki dari profit dimaksud adalah Tambakrejo, Tambaksari, dan Bejalen. Sejumlah kelompok nelayan, kelompok petani rawa pening, juga belasan UKM terlibat dalam pendirian kampoeng apung ini. Dengan sendirinya mereka juga mendapatkan manfaat rutin.

Di sini konsep permberdayaan masyarakat tercakup dalam bisnis inti. Strategi ini terbilang ampuh mensiasati kondisi, dimana lokasinya yang “tidak berjarak” dengan danau Rawa Pening berarti menabrak aturan tentang sempadan rawa.  Seperti diketahui, garis sempadan adalah garis batas aman yang ditetapkan sebagai acuan mendirikan bangunan atau pagar, yang ditarik pada jarak tertentu (dalam hal ini 500 meter) dari tepi rawa, tepi waduk, mata air, rel kereta api, dan sebagainya. 

Dengan terlibatnya kelompok tani, nelayan, desa, UKM setempat, yang juga menciptkan eksternalitas positif bagi lingkungan bisnis dan dinamika wisata di sekitarnya, keberadaan kampoeng rawa sebagai “pusat bisnis desa” menjadi dilema. Tak berijin tetapi tidak bisa pula dihentikan.

Dibangun dengan konsep apung tentu saja menghilangkan kekhawatiran bahaya karena dekat “lokasi rawa.” Kondisi “unik” ini nampaknya membutuhkan keputusan Presiden, dengan mendapatkan pertimbangan dari kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif, kementerian desa, dan lembaga terkait lainnya.

Mempekerjakan 98 tenaga kerja (diluar UKM) sudah cukup dibayangkan betapa larisnya restro unik ini. Juga gambaran daya serap tenaga kerjanya. Pekerja dibagi dalam dua shift. Shift pertama masuk pukul 08.00-14.00, dan shift berikutnya pukul 11.00-19.00. Antara pukul 11-14 merupakan jam ramai pengunjung karena bertepatan dengan saat makan siang. Banyak kali, meetingkantor atau perusahaan dilaksanakan di situ sambil makan siang.

Pemerintah daerah Kabupaten Semarang dan Salatiga juga kerap menggunakan untuk meeting. Pun, kerap berfungsi sebagai rest area bagi para petualang/pemudik dari berbagai kota, seperti Jogya-Semarang, Magelang-Semarang, atau dari kota-kota lain dengan jalur lingkar Ambarawa. Itulah sebabnya, pengaturan shift mengkondisikan full support  semua tenaga pelayan pada jam-jam ramai itu.

Sekitar 60-80% gedung atau ruang dikonstruksikan terapung. Antara lain gedung utama restoran, hall untuk ruang meeting, gazebo, jembatan, tempat pemancingan, dan sebagainya.

Seperti sudah diinformasikan di atas,  kapasitas ruang utama restoran sekitar 100-150 orang. Makan di sini tentu memiliki sensasi tersendiri, seakan-akan Anda sedang makan di atas kapal yang berlayar tenang di atas danau. Ruang yang dibiarkan terbuka (tanpa dinding) memungkinkan pemandangan alam sekitar terekspos maksimal. Sedangkan, kapasitas ruang hall sekitar antara 150 -200 orang, yang juga dibuat apung itu bisa terbayangkan suasana meeting sambil berlayar.

Menu lauk untuk makan, khususnya jenis ikan nila, mujair dam lele dilanggan (beli) dari kerambah para nelayan Rawa Pening. Sedangkan ikan kerapu, mas dan lainnya dibudidayakan sendiri. Demikian pula, beras dan sebagian besar bahan mentah untuk ramuan kuliner di restro apung eksotik ini berasal (dibeli) dari petani dan UKM. Sebuah “kolaborasi maut” antara pengusaha, pemerintah, nelayan dan petani sekitar, bukan?  Disain bisnis yang sungguh unik.

Untuk kulinernya tersedia berbagai jenis menu dan lauk. Kakap lada hitam, kakap rica-rica, bandeng keropak, udang oseng tahu kacang panjang, gurami asam manis, capcay, cumi, udang,  nasi goreng,  dsb. Saya sesungguhnya bukan penikmat makanan yang “terlalu serius,”  tetapi rasanya kurang cocok atau kurang menikmati makanannya. Bersama istri dan anak, kami memesan gurami goreng telur asin, capcay, dan mendoang. Juga kelapa muda sebagai minuman segar. Sependapat dengan istri, menunya mungkin tidak buruk namun tidak istimewa.

Penyajiannya juga lepas konteks, berantakan. Cuaca mendung,  hujan, dan sebagai restro dengan ekspose alam terbuka tentu saja udara selalu basah diselimuti hawa dingin. Apalagi, kami memilih tempat di gazebo yang berhadapan langsung ke hamparan danau rawa pening yang terbuka. Mengenaskannya, makanan disaji dalam keadaan suam-suam (dingin).

Saya bukanlah tipe pemilih makanan tetapi menghadapinya jadi kurang berselera. Saya tidak sempat habiskan yang sudah terambil di piring. Sesuatu yang bukan kebiasaan saya. Dengan tulisan ini saya semata-mata berharap pengelolanya memberi perhatian sehingga sensasi kulinernya bisa terkelola mengimbangi keelokan alam dan providensi fasilitas yang menurut saya sudah cukup komplit itu.

Kami sekeluarga tetap menikmati kelapa muda dan mendoang-nya. Saya lihat pengunjung lain tetangga gazebo sedang bergairah menikmati juice buah. Saya berharap menu lain (yang tidak sempat kami cicipi) lebih ‘maknyus” sehingga pengunjung yang memilihnya dapat menikmati kuliner restro apung ini. Bila ke sana lagi, saya pasti mencoba menu lain.

Bagaimana pun, panorama dan suasana alamnya yang demikian mempesona menutupi rasa kecewa saya atas kualitas dan sajian kulinernya. Saya sangat rekomendasikan untuk dikunjungi, baik bagi yang bepergian sendiri, kaum muda yang ingin suasana romantis, para penikmat suasana pedesaan, rencana reuni, meeting, rekreasi keluarga, atau lainnya. Percayalah, Anda pasti terpesona !

Kretifitas dan geliat petani dan nelayan di Desa Bejalen, Ambarawa bisa menjadi inspirasi bagi para Patriot Desa di Kebumen.

Semoga para pemuda dan masyarakat perdesaan di Kebumen segera bangkit dan bahu membahu membangun desa..

Salam Revolusi Desa !

Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMI KERAMAT SETROJENAR

SABDO PALON NAGIH JANJI : KEMBALINYA KEJAYAAN NUSANTARA

SEMAR MBANGUN KAHYANGAN