SEMAR MBANGUN KAHYANGAN
Hampir semua dalang wayang pernah membawakan lakon ini, "Semar mBangun Kahyangan". Meski dengan langgam dan improvisasi yang berbeda namun pada prinsipnya inti cerita sama. Saya sendiri pernah secara langsung menyaksikan lakon ini dibawakan oleh beberapa dalang, seperti Ki Dalang Basuki Hendro Prayitno dari Ambal, Ki Hadi Sugito, Ki Mantep Sudarsono juga Ki Anom Suroto dan sebagainya.
Sepuluh tahun lebih saya tinggal di Solo, sejak masuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret tahun 1996, dunia pewayangan tentu bukan hal asing bagi saya. Dulu, hampir sebulan sekali saya menyaksikan pegelaran wayang di Gedung TBS (Taman Budaya Surakarta), dekat kost saya. Secara pribadi, saya juga acapkali ngobrol dengan para calon dalang dan sinden yang kuliah di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), yang kampusnya bersebelahan dengan kampus saya.
Dan kini, saya turut menjadi salah satu pengurus PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) Kabupaten Kebumen. Secara rutin, selapan hari sekali (tiap malam Juma'at Kliwon) juga digelar pentas wayang kulit di Padepokan Sehat Medika, desa Jatiluhur, Karanganyar, Kebumen.
Lakon Semar mBangun Kahyangan sangat relevan dipentaskan di tengah kondisi bangsa yang memprihatinkan, situasi negara yang amburadul dan penuh ketidakpastian. Ketika antar anak bangsa saing berhadapan, saling caci dan bully, saling bermusuhan dan berseberangan, kemakmuran dan ketidakadilan jadi barang langka, maka pelajaran dari lakon ini perlu kiranya jadi perhatian dan kesepahaman bersama.
Biasanya lakon ini diawali dengan keadaan di Padepokan Karangkadempel dukuh Karangkabuyutan, dimana Semar Sang Punakawan terlihat murung dan bingung, terlihat dari raut wajahnya bahwa ia sedang memikirkan sesuatu dan ada yang ia cemaskan. Melihat hal itu, Petruk bertanya kepada ramandanya itu, gerangan apa yang sedang terjadi dan yang membuat ayahnya sering melamun.
Semar menjelaskan bahwa sebenarnya ia tidak apa-apa, ia hanya mencemaskan nasib kerajaan Amarta, ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Semar lalu meminta Petruk untuk pergi ke Amarta untuk menemui para punggawa Amarta dan menyampaikan bahwa Ia ingin meminjam tiga pusaka Keraton Amarta yaitu Jamus Kalimasada, Payung Tunggulnaga dan Tombak Kalawelang untuk membangun kahyangan. Selain itu, Ia juga mengundang para Pandawa untuk segera datang ke Karangkabuyutan. Petruk menerima tugas yang diberikan ayahandanya, dan langsung berangkat menuju Indraprasta, nama lain kerajaan Amarta.
Sementara di Amarta, Prabu Yudhistira, dihadapan para saudara-saudaranya sedang membahas sebab kegagalan mereka dan membangun negaranya, datanglah raja Dwarawati, Kresna yang kemudian menanyakan ketidakhadiran Semar dalam keraton Amarta dan menyatakan bahwa itulah yang menjadi kegagalan tersebut. Oleh karena itu, Kresna memerintahkan Arjuna untuk memanggil Semar dari Karangkabuyutan untuk menghadap ke Amarta.
Namun, belum Arjuna beranjak dari tempat duduknya, datanglah Petruk menghadap dan memberitahukan bahwa ia diperintahkan Semar untuk mengundang kelima Pandawa untuk menuju Karangkabuyutan dengan membawa tiga pusaka kerajaan untuk membantu Semar mbangun (membangun) kahyangan.
Mendengar hal itu, Kresna langsung melarang para Pandawa untuk berangkat ke Karangbuyutan, karena ia menganggap bahwa rencana Semar itu bertentangan dengan kodrat Semar yang diturunkan ke dunia. Terjadilah perdebatan antara Kresna dengan Petruk. Petruk menolak untuk kembali ke karangkabuyutan, dia hanya akan kembali apabila mendapat titah dai Pandawa. Yudhistira pun akhirnya menyuruh Petruk untuk menunggu di luar paseban untuk menanti keputusan rapat para Pandawa.
Petruk akhirnya menuruti perintah Yudistira, di luar paseban, Petruk bertemu dengan Antasena, putra Bima. Petruk menceritakan semua kejadian yang ada di dalam paseban tadi, Antasena yang memiliki watak bijaksana dan tahu bahwa yang akan dilakukan Semar itu adalah benar, maka ia berjanji akan membantu Petruk menghadapi tindakan Kresna.
Kresna kemudian mengajak Arjuna pergi ke kahyangan Suralaya untuk melapor kepada Bathara Guru, dan memerintahkan Gatotkaca, Antareja dan Setyaki mengusir Petruk kembali agar ke Karangkabuyutan.
Setelah melalui perjalanan kisah yang cukup panjang, terjadi trik dan intrik, berbagai peperangan dan perkelahian, juga ada kelicikan dan pengkhianatan, akhirnya niat Semar membangun kahyangan terwujud. Kahyangan disini bukan berarti gedung atau bangunan istana. Namun kahyangan yang dimaksud adalah sebuah tatanan kehidupan yang beradab, teratur dan damai. Sebuah tatanan negara yang adil dan makmur, gemah rimah loh jinawi, toto titi tentrem karta raharja. Atau dalam bahasa lain disebut baldatun thayibatun wa raabun ghafur.
Makna Filosofis
Dalam lakon Semar Mbangun Kahyangan, Semar bermaksud untuk membangun jiwa dari para pemimpinnya. Karena keberadaan Semar saat itu hanya sebagai abdi (rakyat yang tidak bermartabat), maksud baik semar justru dipertanyakan. Bahkan Sri Krisna sendiri berkoalisi dengan para dewa untuk menggagalkan rencana Semar. Mau tidak mau para Pandawa mengikuti keinginan Sri Krisna. Hanya Sadewa yang menentang Sri Krisna dan saudara-saudaranya.
Sadewa lebih memilih bersama Semar, demi tegaknya kebenaran. Simbolik cerita dari kisah ini digambarkan dengan tiga pusaka: Jamus Kalimasada, Tumbak Kalawelang dan Payung Tunggulnaga. Semar menghendaki memijam ketiga pusaka itu untuk membangun Kahyangan. Inilah awal dari pertentangan yang dihadapi Semar.
Namun Semar tetap melanjutkan tekadnya, meskipun tidak direstui oleh para penguasa dan pemimpinnya. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya dan tekad yang bulat akhirnya semar berhasil dalam menjalankan tapanya. Jamus Kalimasada adalah pusaka andalan Kerajaan Amarta, Kalimasada tidak lain adalah “Dua Kalimat Syahadat” yang merupakan kunci ke-islaman seseorang.
Sedangkan Tumbak Kalawelang, adalah simbol dari ketajaman budi. Tumbak bentuknya menyerupai anak panah, namun lebih besar. Panah berasal dari kata “Manah” = bahasa kawi Jawa kuno. Yang artinya budi pekerti, pikiran, rasa, jiwa. Dalam bahasa Jawa “manah” juga berarti “penggalih”. Kalau penggalih ini sudah sakit, maka seluruh jiwa dan raga akan sakit, seluruh tingkah dan polah manusia akan sakit. Kalawelang, berasal dari dari kata “Kala” dan Welang.
Kala adalah simbol dari berjalannya waktu. Tak ada yang bisa menghalangi berjalannya waktu. Semuanya akan diterjang dan dihancurkan oleh Sang Kala. Welang adalah ular yang yang paling berbisa. Bisa dari ular welang ini sangat mematikan. Namun welang disini berkaitan dengan wulang dan weling, yang mempunyai makna sebagai sebuah ajaran dan pitutur. Dan yang ketiga, adalah pusaka Payung Tunggulnaga. Payung adalah pengayoman. Pengayoman dari para penguasa.
Kalau para penguasa dan pejabat sudah tidak bisa mengayomi rakyat, apalah jadinya negara ini. Tunggulnaga, tunggul bermakna meliputi di atasnya, artinya menaungi. Sedangkan Naga adalah gambaran sebuah ular raksasa yang sangat besar. Namun makna sebenarnya adalah kekuatan dari naga itu sendiri. Tidak lain adalah people power. Naga disini bermakna “naga-ra” atau NEGARA. Satu-satunya kekuatan yang mampu menegakkan negara adalah kekuatan rakyat.
Kisah Semar Mbangun Kahyangan, adalah sebuah bentuk edukasi moral. Sebenarnya merupakan sindiran bagi para penguasa. Begitulah pujangga pada jaman dulu. Tidak berani mengkritisi para penguasa secara terang-terangan. Namun secara terselubung membuat suatu lakon cerita yang sebenarnya sangat tepat jika disebut sebagai nasehat. Rakyat jelata adalah sentral dari lakon Semar Mbangun Kahyangan. Petruk diutus Semar untuk meminjam ketiga pusaka Kerajaan.
Namun di Sitihinggil Kraton Amarta bertemu dengan Sri Krisna. Setelah mengutarakan maksudnya, Petruk malah dicaci-maki oleh Sri Krisna. Dianggap tidak tahu diri, karena hanya dari kalangan rakyat jelata berani meminjam pusaka andalan kerajaan. Akhirnya Petruk dihajar sampai babak belur dan diusir pula. Sadewa melihat keadaan seperti itu sangat trenyuh hatinya. Ia pergi meninggalkan kedaton, mengikuti Petruk untuk menjumpai Semar.
Para kadang Pandawa hanya mengiyakan pendapat Sri Krisna. Semar bukannya malah marah mengetahui kejadiannya seperti itu, ia justru menangis tersedu. Melihat pada penguasa yang tidak punya pendirian. Tangisan Semar rupanya didengar oleh ketiga pusaka yang ia kehendaki dalam mendampingi tapanya. Ketiga pusaka itu datang menghampiri Semar ke Karangkabuyutan dimana Semar tinggal. Mengetahui ketiga pusaka andalan itu murca, para kadang Pandawa kebingungan. Sri Krisna menghadap Bathara Guru. Mereka berdua bersekongkol untuk menghalangi dan menggagalkan usaha Semar untuk Mbangun Kahyangan. Disinilah eksistensi spiritual Semar diuji.
Jatidiri seorang Semar yang sebenarnya muncul. Bahkan kekuatan dan kesaktian Bathara Guru pun tidak ada artinya sama sekali. Bathara Guru adalah dewa paling berkuasa di Kahyangan. Niat tulus, jiwa yang ikhlas, serta semangat dan tekad yang bulat dari Semar ternyata membuahkan hasil. Dengan didampingi ketiga pusaka, yang tidak lain adalah “Syahadat” yang merupakan kunci ke-isalaman,
Tumbak Kalawelang, pikiran dan hati yang bersih namun tajam, Serta Payung Tunggulnaga, sebuah usaha untuk melindungi dan memberikan pengayoman pada seluruh rakyat jelata. Setelah mengetahui niat semar yang sebenarnya, para kadang Pandawa kembali bersatu. Dan Sri Krisna meminta maaf kepada Semar.
Semar yang sebenarnya adalah “dewa” yang mengejawantah, hidup menyamar sebagai rakyat kecil. Sering nasibnya “ketula-tula” diremehkan dan disakiti.
Namun Semar tetap riang gembira hidupnya.
=============================================
Untuk tahu siapa Semar, siapa Petruk, siapa Yudhistira, siapa Krishna, siapa Durna, siapa Sengkuni dan siapa Duryudana...
Kita tunggu di tahun 2019 !
#2019Pilpres
#2019RakyatBebasMemilih
#SemarMbangunKahyangan
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik
Komentar
Posting Komentar