PARI dan SUKET TEKI

Sahabat Netizens tentu familiar dengan lagu SUKET TEKI yang dinyanyikan seniman kondang, Didi Kempot. "Tak tandur pari jebul thukule malah suket teki" (saya tanam padi tapi tumbuhnya justru rumput teki), begitu red lagu yang cukup hit beberapa bulan ini.

Saya tidak sedang bernyanyi di hari yang fitri ini, saya lagi galau melihat 5 tanaman bunga matahari di belakang rumah kena hama, layu dan mati. Awalnya satu pohon diserang semacam serangga kupu putih kecil-kecil, sengaja saya biarkan. Terus merembet ke 4 tanaman lainnya, hingga semua terjangkit semacam jamur batang berwarna putih, dan semua akhirnya mati.

Pada saat yang sama rumput-rumputnya (termasuk rumput teki) malah tumbuh subur dan menjalar makin lebar. Padahal rumput-rumput tersebut selalu saya siangi rutin, tetap saja tumbuh lagi.

Dalam diam saya berfikir, ternyata rumput teki jauh lebih tangguh dibanding bunga matahari, bahkan dibanding pari (tanaman padi). Padi dan hampir semua jenis tanaman pertanian yang sengaja ditanam oleh petani faktanya lemah dan rawan terhadap hama penyakit. Sebaliknya, rumput ilalang yang tidak pernah sengaja ditanam malah tumbuh subur dan tahan serangan hama.

Begitulah hakekat kehidupan. Padi ibarat kebaikan, rumput ibarat keburukan. Palawija seperti ketaatan, ilalang laksana kemaksiatan. Sawah ladang dan taman adalah diri kita, manusia.

Saya teringat, sebuah novel Jepang yang sangat populer, Musashi, karya Eiji Yoshikawa, yang saya baca berkali-kali sejak SMA. Disitu diceritakan, Miyamoto Musashi, seorang Samurai yang memilih jalan pedang memiliki dua anak didik dalam waktu yang berbeda.

Pertama, Jotaro, dia dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa kontrol dari Musashi, akhirnya jadi anak bengal, liar dan brutal.

Kedua adalah Iori. Musashi melakukan pendekatan yang berbeda dalam mendidik Iori. Dia lebih tegas, ketat dan disiplin dalam melatih serta membentuk karakter Iori.

Dalam sebuah kalimat, Musashi berkata, "Anak-anak itu ibarat sawah ladang, jika kita membiarkan, yang tumbuh bukannya sayuran dan kentang, namun rumput ilalang".

Seorang anak yang dibiarkan pertumbuhannya, tanpa kontrol dan disiplin yang ketat, maka sifat buruk akan lebih dominan dari pada sifat baiknya. Maka jika kita menginginkan generasi hebat, kita mesti disiplin dalam mendidik, melatih dan mengawasi. Sebagaimana kita menginginkan tanaman padi yang sehat dan subur. Harus dipilih bibit yang bagus, ditanam dengan baik, dirawat, dipupuk dan disemprot obat penyakit tanaman.

Begitu pun dalam diri manusia, kebaikan dan ketaatan harus dilatih, dipupuk dan dirawat agar terbentuk karakter juara. Namun kejahatan dan kemaksiatan bisa tumbuh dengan sendirinya tanpa dilatih dan diajarkan, seperti suket teki yang selalu tumbuh di sela-sela tanaman padi.

Sama juga seperti pemimpin, jika dia dibiarkan tanpa kontrol dan kritik maka dia akan cenderung otoriter dan sewenang-wenang.

Semakin besar kekuasaan maka akan cenderung korup dan semakin lama orang berkuasa maka akan semakin otoriter, anti kritik dan lupa bahwa jabatan itu hanya titipan. Semakin nyaman seseorang di kursi kekuasaan, semakin ambisi dia untuk bertahan.

Jika orang sadar bahwa jabatan adalah amanah dan beban, mestinya dia semakin takut dan ingin cepat-cepat selesai dan meletakkan.

Seringkali orang lupa bahwa jabatan adalah tanggung jawab, bukan kehormatan dan kemuliaan. Maka para pendahulu di masa kejayaan Islam, para sahabat Nabi SAW enggan menjadi penguasa. Bahkan kalimat pertama sahabat Umar bin Khattab RA ketika diangkat sebagai Khalifah adalah istighfar dan innalilahi wa inna ilayhi rajiun.

Umar sadar bahwa dengan keadaan dirinya, banyak orang takut untuk menegur dan meluruskan. Maka Umar sangat bahagia ketika ada seorang Badui yang mengacungkan pedang sambil berteriak lantang, "Saya, wahai Umar yang akan meluruskan Anda dengan pedang ini ketika Anda menyimpang".

Hari ini, dunia sudah terbalik. Orang berebut jabatan dan beban, mereka rela melakukan segala cara untuk meraih dan mempertahankannya. Seorang penguasa begitu marah dan murka ketika ada yang mengkritisi, namun begitu bahagia ketika datang para pemuja dengan jilatan lidahnya.

Jika mereka tahu bahwa apa yang mereka miliki akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah 'azza wajalla, niscaya mereka akan menolak dan memilih menjadi rakyat biasa.

Nah, kembali pada Pari dan Suket Teki. Ketegasan dan kritikan kita pada penguasa, hakikatnya adalah wujud kepedulian dan kasih sayang, sebagaimana seorang petani menyayangi sawah ladangnya.

Petani tidak ingin rumput ilalang lebih dominan, dan mengalahkan tanaman padi. Rakyat yang cerdas juga tidak ingin, penguasa salah jalan dan lupa diri, jadi arogan dan otoriter.

Kritikan akan membuat orang sadar dan waspada, sebaliknya sanjungan dan pujian akan membuat orang lengah dan terbuai.

Sayang sekali ketika ada penguasa yang lebih memilih dihancurkan dengan pujian daripada dibangun dengan kritikan.

Pemujamu adalah musuh yang sesungguhnya bagimu, sedangkan pengkritikmu adalah sahabat sejatimu.

Selamat Hari Raya Idul Fitri...

Jadilah Pari, bukan Suket Teki !

Yogyakarta, 16 Juni 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMI KERAMAT SETROJENAR

SABDO PALON NAGIH JANJI : KEMBALINYA KEJAYAAN NUSANTARA

SEMAR MBANGUN KAHYANGAN