Mengapa Warga Non-Pribumi Tidak Boleh Memiliki SHM Tanah di Yogyakarta ?
1. BBC.com
Dalam beberapa bulan terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya yang ia anggap diskriminatif.
Siput Lokasari mulai mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini membatalkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga nonpribumi memiliki tanah.
"Kenapa harus ada diskriminasi ras... Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa hak milik dipaksa untuk dirampas dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi hak sewa. Orang Tionghoa ataupun orang India yang diangggap non pribumi... Kenapa sampai begitu?" kata Siput kepada BBC Indonesia.
Tanah yang dimaksud Siput adalah yang dibeli istrinya di Kulon Progo seluas 1.000 m2 sekitar enam bulan lalu dan sampai kini tak bisa diubah menjadi hak milik atas namanya karena -seperti dikutipnya dari pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat- "Istri bapak orang Cina."
Upaya untuk menuntut hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain termasuk oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, beberapa tahun lalu.
Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut 'diskiriminatif' itu.
"Seharusnya Yogyakarta sebagai salah satu daerah berbudaya di Indonesia telah menghapus kebijakan yang bernada diskriminasi. Kebijakan diskriminasi pada akhirnya hanya akan menghambat pembangunan di daerah tersebut," tulis Komnas melalui situs tertanggal 23 September 2015.
"Urusan ini sudah panjang sekali. Kami ke Komnas HAM sejak 2009 dan Komnas HAM keluarkan rekomendasi pada 2014," tambah Siput.
Siput juga bercerita tentang penduduk Yogyakarta lain, Handoko, yang menempuh gugatan uji materi ke Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, namun ditolak karena "Surat Instruksi pada 1975 itu bukan produk undang-undang ."
Tetapi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, Arie Yuriwin, mengatakan pihaknya menjadikan putusan MA sebagai yurisprudensi.
"Putusan MA atas gugatan para nonpribumi untuk memperoleh hak milik dimenangkan oleh pihak Keraton, sehingga keputusan MA kita jadikan sebagai yurisprudensi... Ketentuan wakil gubernur itu tetap berlaku di DIY," kata Arie kepada BBC Indonesia, Rabu (05/10).
http://www.bbc.com/indonesia/majalah...nah_yogyakarta
2. HarianJogja.com
Warga keturunan yang tinggal di DIY kembali menyuarakan keinginan mereka terkait penghapusan diskriminasi kepemilikan tanah yang selama ini mereka rasakan.
Mereka menilai selama ini kebijakan dari Pemda DIY terkait kepemilikan tanah sangat mendiskriminasikan warga keturunan yang notabene merupakan warga yang memiliki hak yang sama dengan warga lainnya.
Salah satu warga keturunan, Z Siput L mengatakan saat ini Pemda DIY seolah-olah mengembalikan peraturan lama dari instruksi Wakil Gubernur K898/I-A/1975 tentang kepemilikan tanah warga non pribumi di DIY.
Mereka menyuarakan karena peraturan tersebut sebenarnya sudah dihapuskan oleh Paku alam VIII dan Gubernur DIY Sri Sultan HB IX pada tahun 1984 lalu.
“Tidak hanya warga keturunan Tionghoa, tetapi warga keturunan India dan suami atau istri yang memiliki keturunan sekarang tidak bisa memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Sementara dulu peraturan itu yang mencabut juga beliau, tetapi sekarang kenapa itu seperti diberlakukan lagi kepada kami,” ujar dia.
Kekhawatiran untuk penguasaan tanah oleh warga keturunan bila Pemda DIY memberikan hak milik, kata Siput hal tersebut sudah dijelaskan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjelaskan terkait kepemilikan tanah bukan diskriminasi seperti yang saat ini terjadi.
Sementara itu seorang pengacara Handoko, mengatakan ia pernah melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) karena adanya diskriminasi atas kepemilikan tanah di DIY. Namun demikian gugatan tersebut ditolak oleh MA karena MA tidak memiliki kewenangan untuk menangani lantaran bukan undang-undang.
“Kita ditolak bukan dikalahkan, sementara gugatan itu sudah masuk sebelum somasi dari warga minoritas mengeluarkan somasi,” katanya.
Ia menjelaskan sementara ketika dirinya kembali mengajukan gugatan ke PTUN gugatan juga ditolak . Hal tersebutlah yang membuat warga minoritas geram dan mempertanyakan aturan yang sebenarnya yang ditaati oleh orang banyak hingga BPN manakah yang benar.
“Saya akan ajukan lagi gugatan kedua ke PTUN nanti, sementara dari warga minoritas sendiri tetap akan mengeluarkan somasi terkait penghapusan diskriminasi kepemilikan tanah kepada Gubernur DIY,” katanya.
http://www.harianjogja.com/baca/2016...dihapus-763488
3. Merdeka.com
Kepala Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional) Yogyakarta, Arie Yuwirin menegaskan memang warga negara Indonesia nonpribumi tidak boleh memiliki hak untuk memiliki tanah alias SHM (surat hak milik) di Yogyakarta. BPN pun meluruskan pernyataan Sultan Hamengku Buwono X, terkait permasalahan tanah bagi warga Tionghoa seperti yang dilaporkan Granad (Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Sebetulnya tidak seperti itu, jadi kaitannya dengan Granad itu karena keinginan untuk mendapatkan hak milik untuk nonpribumi," katanya saat ditemui merdeka.com di kantor wilayah BPN DIY, Kamis (17/9).
Dia menjelaskan, tidak bolehnya WNI nonpribumi memiliki hak milik tanah sudah diatur dalam instruksi gubernur tahun 1975 . Bahkan ketika instruksi itu dibawa ke MA, MA memenangkan putusan itu menjadi Yurisprudensi.
"Sekarang itu sedang uji materi di Mahkamah Agung," tambahnya.
Dia menegaskan jika bukan hanya warga Tionghoa saja yang tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta, tetapi semua warga keturunan tidak boleh.
"Warga keturunan bukan Tionghoa saja, India dan asing lainnya tidak bisa diberikan hak milik karena sudah ada putusan yurisprudensi," ungkapnya.
Sementara itu terkait dengan tudingan tidak ada tanah negara di Yogyakarta yang juga diamini oleh Sultan, Arie mengaku tidak berani memberikan penjelasan. Dia juga menolak membeberkan data BPN tentang kepemilikan tanah di Yogyakarta.
"Saya tidak berani memberikan komentar. Saya tidak bisa mengkonfrontasi pak gubernur. Itulah yang aku tidak mau bicara," terangnya.
Sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur dan Raja Keraton Yogyakarta dilaporkan ke Jokowi karena dugaan separatisme. Laporan tersebut ditulis Ketua Granad Willie Sebastian, dalam bentuk surat yang dikirim 12 September 2015.
Dalam surat tersebut Sultan dituding telah menyelewengkan Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama di bidang pertanahan dan indikasi separatis dengan menghidupkan aturan hukum Kolonial (Rijksblad) dan mengesampingkan UUPA No.5/1960.
"Tujuannya itu ingin menguasai tanah milik negara. Dan Sultan juga pernah bilang kalau di Yogyakarta itu tidak ada tanah negara," katanya saat ditemui merdeka.com, Selasa (15/9) malam.
Setidaknya ada empat poin indikasi separatisme yang dilakukan Sultan yang ditulis oleh Willie. Pertama, pengambilalihan hak menguasai negara terhadap tanah negara, dengan cara sertifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah Keraton.
Kedua, pengambilalihan hak milik masyarakat atas tanah desa sebagai aset publik, dengan cara penerbitan Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
"Aturan itu bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Diktum IV, UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 76 dan UUK DIY Pasal 16. Desa jadi kehilangan milik tanah Desa," terangnya.
Ketiga, penerbitan Raperdais bidang Pertanahan yang isinya adalah upaya menghidupkan kembali Rijksblad sebagai dasar Sultan Grond. Padahal Sultan Ground sudah dihapus dengan Perda DIY No 3 Tahun 1984.
"Ini jelas bertentangan dengan UUPA, kita itu sering ditipu karena tidak tahu. UUPA itu sudah berlakukan di Yogyakarta, tapi pemerintah tidak mau menggunakannya," tegasnya.
Keempat dugaan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia non pribumi. Seperti diketahui, warga non pribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.
"Saya mau tanya, apa ada WNI non pribumi? WNI yang WNI. Ini diskriminasi, padahal kita sudah punya UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," ujarnya.
https://www.merdeka.com/peristiwa/bp...-di-yogya.html
______________________________________
Menanggapi tidak diperbolehkannya hak kepemilikan tanah bagi warga keturunan di Yogyakarta, tim hukum Keraton Yogyakarta, KRT Niti Negoro mengatakan hal tersebut benar dan ada aturannya. Menurutnya, larangan tersebut diatur melalui surat instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.
Dalam surat tersebut dituliskan bahwa hingga saat itu, warga negara Indonesia non pribumi belum boleh memiliki tanah.
"Memang tidak boleh, karena ada aturannya. Sudah pernah ada yang menggugat, tapi tidak ada masalah, itu tetap berlaku ," katanya saat dihubungi merdeka.com, Rabu (16/9).
Niti Negoro menjelaskan alasan dikeluarkan peraturan tersebut karena pertimbangan untuk pemerataan hak. Pada waktu itu jika tidak diatur demikian, maka tanah-tanah di Yogyakarta akan dikuasai oleh warga keturunan yang pada waktu itu dominan dalam ekonomi.
"Alasannya dari sejarah, dalam rangka pemerataan hak, supaya tanah tidak dikuasai kelompok yang kuat ekonomi. Agar tanah strategis tidak dikuasai ekonomi kuat. Maka kemudian dikeluarkan aturan itu," terangnya.
Dia pun menegaskan peraturan tersebut hingga kini tetap berlaku meski sudah ada pemberlakuan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) pada tahun 1984 di Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta adalah daerah istimewa sehingga tidak semua peraturan berlaku di Yogyakarta.
"Yogyakarta ini daerah istimewa, tidak semua berlaku penuh. Sepanjang ada di Yogyakarta, harus tunduk peraturan di Yogyakarta," tegasnya
Silahkan di diskusikan
Komentar
Posting Komentar