Hukum Pertanahan di Jogja Adalah Bagian dari Keistimewaan Yogyakarta

Ada dua alasan mengapa WNI nonpribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di Yogyakarta. Pertama alasan sejarah, kedua karena ketakutan tanah dikuasai WNI nonpribumi. Dua alasan ini menjadi dasar keluarnya Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 yang tidak memperbolehkan WNI nonpribumi memiliki hak milik atas tanah.

Parampara Praja bidang pertanahan Pemda Yogyakarta, Suyitno menjelaskan, surat instruksi itu sudah tepat. Dari aspek sejarah, memang sejak dulu zaman Kesultanan Yogyakarta, pemberian tanah kepada seseorang ada aturannya.

Pada masa itu, Suyitno mengklaim bahwa tanah yang ada di Yogyakarta seluruhnya adalah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kesultanan dan Pakualaman kemudian memberikan tanah-tanah itu kepada warganya sesuai dengan kebutuhan dengan dasar hukum adat.

Dalam konteks penyelenggaraan hukum adat ini, Suyitno menganalogikan sekelompok masyarakat adat A dan B yang memiliki wilayah berbeda. Masing-masing memiliki aturan masing-masing. Orang-orang dari masyarakat adat A diperbolehkan datang dan tinggal di wilayah masyarakat adat B. Namun, orang dari masyarakat adat A tidak lantas memiliki hak yang sama dengan orang asli masyarakat adat B.

Skema pemberlakuan hukum adat itu juga yang terjadi di wilayah Keraton Yogyakarta. Termasuk dalam hal kepemilikan tanah. Logika itu juga yang diterapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa hanya WNI saja yang boleh memiliki tanah di Indonesia.

“Dalam masyarakat adat, tidak mungkin ada orang dari masyarakat adat lain bisa punya hak yang sama. Itu dasarnya,” kata Suyitno kepada tirto.id saat ditemui di rumahnya, pada 17 September 2016.

Hukum adat itu, menurutnya sampai sekarang masih berlaku di Yogyakarta meski sudah diberlakukan UUPA. Sebab, pemberlakuan UUPA di Yogyakarta masih sebatas pada hak-hak milik tanah warga masyarakat, bukan hak milik Keraton.

Hak tanah milik Keraton yang dimaksud Suyitno adalah tanah adat yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Status tanah adat itu pun diatur dalam UUPA.

Menurut Suyitno, dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria nomor 2 tahun 1962 tentang “Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah”, ditegaskan bahwa Keraton Yogyakarta bisa mengonversi tanah adat menjadi sah milik Keraton sesuai dengan aturan yang berlaku.

Namun, karena Keraton adalah instansi dan bukan perorangan, maka konversi tanah adat itu belum bisa dilakukan. Barulah setelah Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang “Keistimewaan Yogyakarta” disahkan, Keraton Yogyakarta ditetapkan sebagai badan hukum. Konsekuensinya, Keraton baru bisa mengonversi tanah adat miliknya setelah UU Keistimewaan itu lahir.

Atas dasar sejarah asal-usul kepemilikan tanah di Yogyakarta dan hukum adat yang masih diakui itu, Suyitno menilai larangan WNI nonpribumi memilik hak milik tanah itu tidak bertentangan dengan aturan di Yogyakarta dan juga UUPA.

Suyitno menegaskan, meski tanah yang dibeli WNI nonpribumi bukan tanah adat milik Keraton, tetapi tetap saja sejarahnya semua tanah di Yogyakarta adalah tanah milik Keraton.

“Instruksi 75 (Instruksi wagub) itukan dimaksudkan untuk penyeragaman. Karena dulu kalau ada pribumi punya tanah, pasti pribumi yang diberikan tanah oleh Keraton. Ada aturannya, ada dasar hukumnya,” tegas Suyitno.

Selain sejarah, latar belakang dikeluarkannya instruksi 1975 itu karena dugaan dominasi kepemilikan tanah oleh warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta.

Secara riil, Suyitno tidak bisa menunjukan data berapa jumlah warga keturunan Tionghoa yang menguasai tanah serta luasannya di Yogyakarta. Secara kasat mata, dia berani bertaruh jika bangunan-bangunan di utara, selatan, timur dan barat Tugu Yogyakarta yang lokasinya sangat strategis adalah milik keturunan Tionghoa.

“Kalau ditanya data, saya tidak punya. Tapi faktanya, kita lihat saja. Mereka itu sebagian besar adalah ekonomi kuat. Kita bisa lihat bangunan-bangunan di sekitar Tugu, itu punya siapa?” ujar Suyitno.

Dia pun menganggap instruksi itu adalah hal yang wajar. Jika ada yang menyebut aturan itu diskriminatif, dia pun tidak menolaknya. Namun diskriminasi yang dilakukan ini bertujuan positif. Diskriminasi positif ini menurut diakui dalam perundang-undangan di Indonesia.

“Kan sekarang ini mereka itu yang ekonominya kuat, ada ketimpangan. Aturan ini dikeluarkan biar ada keseimbangan. Kalau dibilang nggak adil, justru kalau tidak diatur kan tidak adil,” katanya.

Jika kondisi seimbang dan keadilan itu sudah setara, maka dia pun tidak keberatan jika instruksi itu dicabut.

“Sampai kapan? Ya sampai seimbang, kapan itu? Ya saya tidak tahu,” pungkas Suyitno.

Sumber : tirto.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMI KERAMAT SETROJENAR

SABDO PALON NAGIH JANJI : KEMBALINYA KEJAYAAN NUSANTARA

SEMAR MBANGUN KAHYANGAN