Anak Macan itu Bernama Jokowi



Entah kenapa, pagi ini tiba-tiba saya ingin menulis tentang Jokowi, yang sekarang adalah Presiden Republik Indonesia.
Saya mengenal Ir. H. Joko Widodo jauh sebelum beliau menjadi seorang presiden, barangkali saat ini beliau sudah tidak kenal saya yang hanya rakyat biasa.
Saya kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Fakultas Ekonomi angkatan 1996, mengambil jurusan Manajemen. Setelah lulus tahun 2001 saya melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengambil studi Islam dan Bahasa Arab, Ma'had Abu Bakar As Shiddiq.
Sambil kuliah saya mengajar beberapa mata kuliah dan aktif mengisi training, seminar dan diskusi-diskusi akademik. Hingga tahun 2006 saya tinggal dan beraktifitas di Solo, kota kelahiran Jokowi.
Disamping kuliah dan mengajar, saya juga aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus terutama kegiatan keagamaan. Saya aktif di kajian masjid kampus, bahkan pernah menjadi ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa (LDM) UNS, juga pernah menjadi ketua Forum Bengawan Solo (FORBES), suatu lembaga yang mewadahi Gerakan Mahasiswa Muslim (GMM) seluruh kampus di Solo.
Saya bersama teman-teman sering mengadakan acara-acara keagamaan baik skala kecil maupun besar. Tabligh akbar, diskusi publik atau training keagamaan. Dari sinilah saya mengenal Jokowi, karena saya beberapa kali memakai gedung pertemuan miliknya untuk acara keagamaan. Jokowi memiliki gedung pertemuan dengan kapasitas mencapai 2000 orang yang bernama Graha Saba Buana. Letaknya di Jalan Letjend. Suprapto 80 B Sumber, Surakarta.
Jokowi orangnya baik, santun, sederhana dan yang pasti selalu memberi diskon jika kami pinjam gedung untuk acara keagamaan. Dari sinilah kami merasa dekat dengan Jokowi. Kami menganggap beliau pendukung gerakan keislaman khususnya di Solo. Jokowi yang kami kenal adalah seorang pengusaha mebel/ furniture bukan politisi, apalagi aktifis partai.
Saya masih ingat betul, tahun 2005 ada Pilkada yang memilih walikota dan wakil walikota Surakarta. Pilkada pertama dimana walikota dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat.
Solo adalah kandang banteng, basisnya PDIP. Pasangan yang diusung PDIP bisa dipastikan menang. Biasanya yang dijagokan adalah ketua DPC-nya, sebagaimana perlu diketahui sebelumnya Walikota Surakarta adalah Slamet Suryanto (2000-2005), juga ketua DPC PDIP.
Ketua DPC PDIP penggganti Slamet Suryanto adalah FX Hadi Rudyatmo, saya juga kenal beliau, karena rumahnya di kelurahan Pucang Sawit, daerah depan kampus UNS. Pak Rudy, sapaan akrabnya beragama non muslim.
Inilah yang menjadi pemikiran dan kekhawatiran kami, para aktifis GMM (Gerakan Mahasiswa Muslim), juga sebagian besar penduduk muslim di Surakarta. Akhirnya, waktu itu kami menyelenggarakan pooling di salah satu koran di Solo, untuk memunculkan tokoh alternatif sebagai calon walikota Surakarta.
Puluhan kandidat yang kami sodorkan, dari kalangan ulama, pengusaha, akademisi maupun aktifis. Jokowi termasuk salah satu tokoh yang dimunculkan sebagai calon alternatif. Dari sekian banyak tokoh alternatif, Jokowi mendapat perolehan terbanyak dalam pooling yang kami selenggarakan selama beberapa bulan.
Kemudian, kami melakukan komunikasi dengan pengurus DPC PDIP Surakarta, dan berusaha meyakinkan mereka bahwa Jokowi adalah pilihan yang tepat untuk diajukan sebagai calon walikota. Akhirnya pak Rudy dengan kendaraan PDIP secara legowo bersedia menjadi orang kedua, mendampingi Jokowi sebagai bakal calon walikota Surakarta.
Kita semua tahu, hasil Pilkada langsung di Surakarta memenangkan pasangan Jokowi-Rudy. Pasangan ini menjabat dan dilantik pada 28 Juli 2005. Kepemimpinan mereka terbilang berhasil dan istimewa. Solo berubah menjadi kota yang indah dan benar-benar BERSERI. Keberhasilan ini mengantarkan pasangan Jokowi-Rudy terpilih kembali untuk periode kedua (2010-2015).
Jokowi adalah fenomena, beliau adalah magnet dengan segala sikap dan tindak tanduknya. Dari seorang pengusaha yang bersahaja, menjadi seorang pemimpin, walikota yang mendunia. Jokowi bukan politisi, beliau tidak pernah menjadi pengurus partai.
Sepak terjang Jokowi sebagai walikota, rupanya menarik perhatian Prabowo Subianto yang kemudian mendesak Megawati Soekarnoputri agar diusung sebagai calon Gubernur DKI Jakarta padad pilkada tahun 2012. Saya trmasuk yang bangga dan mendukung pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI.
Pada saat pilgub DKI, saya kebetulan sudah hijrah ke ibukota, dan bekerja sebagai senior konsultan di salah satu perusahaan di Jakarta. Saya ikut mengkampanyekan dan mempromosikan Jokowi di Jakarta. From Solo With Love, begitu jargon saya waktu itu. Maka terjadilah yang harus terjadi, Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memenangkan Pilgub DKI yang berlangsung dalam dua putaran.
Jokowi tetaplah Jokowi, pribadi yang santun dan sederhana. Gayanya dalam memimpin Jakarta menarik perhatian masyarakat banyak. Kebiasaannya blusukan ke pasar-pasar tradisional dan ke ruang-ruang publik mendaji model gaya kepemimpinan kepala-kepala daerah lain. Terobosan dan pendekatannya dalam menyelesaikan masalah terbilang unik. Keberhasilannya memindahkan PKL Tanah Abang ke Blok G, menyulap waduk Pluit menjadi kawasan terbuka hijau, dan pola rekruitmen pejabat dengan sistem lelang adalah beberapa contoh keberhasilan Jokowi.
Momentum Jokowi rupanya belum berhenti. Magnetnya makin kuat, hingga Megawati sebagai Ketua Umum PDIP tak mampu menahan keinginan publik untuk menjadikan Jokowi tidak hanya pemimpin Jakarta, tapi sebagai pemimpin Indonesia, presiden Republik Indonesia.
Tuhan sedang berkehendak, pada pilpres 2014 Jokowi terpilih sebagai presiden. Bukan tanpa hambatan dan rintangan beliau menduduki kursi orang nomor satu di negeri ini. Terus terang, saya termasuk yang tidak setuju dengan pencalonan Jokowi sebagai presiden. Bukan karena pribadinya, tetap khawatir akan orang-orang di sekelilingnya.
Saya cemas Jokowi yang dulu santun dan bersahaja berubah setelah menjadi penguasa tertinggi di negeri ini. Saya khawatir beliau lupa diri atau tidak mampu melawan pengaruh buruk orang-orang di sekelilingnya. Karena saat ini Jokowi seperti balon udara yang lepas dari genggaman. Beliau terbang terlalu tinggi. Beliau sudah tidak terjangkau oleh tangan lemah saya dan teman-teman yang pernah mengantarkannya menjadi walikota Surakarta.
Anak Macan itu sudah bisa berlari sendiri. Dia sudah pandai berburu mangsa melebihi induk yang melatihnya. Saya hanya berharap dan berdoa, semoga Anak Macan yang sudah dewasa ini bisa menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Menjadi penguasa yang menjaga hutan dari pengrusakan orang-orang jahat dan serangan dari luar.
Ya, Anak Macan itu bernama Joko Widodo.
Solo, 8 Juli 2016
Salam "From Solo With Love"
Arief Luqman El Hakiem

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMI KERAMAT SETROJENAR

SABDO PALON NAGIH JANJI : KEMBALINYA KEJAYAAN NUSANTARA

SEMAR MBANGUN KAHYANGAN